PILIHAN


Oleh: Alkaton

Dimuat di Tabloid Bulanan "DINAMIKA METROPOLIS" edisi Januari 2012

Malam merangkak larut di Kota Palembang. Keresidenan yang hingga sore tadi masih diselimuti hingar-bingar pertempuran kini perlahan sunyi. Bulan separuh menggantung di langit saksi pemandangan gedung-gedung yang poranda dihantam mortir. Kota tampak sepi, namun seisi kota waspada. Semua orang siaga akan semua kemungkinan terburuk, apalagi para prajurit pejuang kemerdekaan. Namun seorang prajurit tanpa sadar telah lalai dari kesiap-siagaan. Seorang prajurit muda yang hatinya dikacau resah.

Burhan mematung menatap riak Sungai Sekanak. Angin bertiup sedang ke arah tepian, menampar-menampar pipi Burhan. Dingin terasa, bukan hanya pada badan namun juga di dalam hatinya yang sedang keruh. Peperangan sengit hingga sore tadi bagai berlalu saja tak berbekas di jiwanya. Semua berpangkal dari sebuah pilihan, sesuatu yang amat Burhan benci di awal-awal tahun yang berat ini.

Temaram kerlap-kerlip permukaan Sekanak seperti hilang dari mata Burhan ditelan riuhnya bayang-bayang dalam pikiran. Sepotong bayang wajah manis melayang-layang di sana. Sebentar kemudian bayangan itu berganti bayang-bayang wajah-wajah rekannya yang telah gugur dalam peperangan. Lalu tiba-tiba melintas bayang baru, seraut wajah tua dengan kumis tipis berseling uban datang dengan ultimatumnya.

“Keadaan semakin gawat. Aku putuskan kami sekeluarga akan mengungsi pulang ke dusun sajaKau harus ikut kalau kau benar-benar ingin menikahi anakku! Aku tak mau anakku jadi janda gara-gara kau mati berperang. Berhentilah ikut perang, atau kita batalkan semua rencana pernikahan kalian! Tentukan pilihanmu, kutunggu jawabanmu sampai malam nanti. Selepas subuh kami semua akan berangkat.”

Bayang orang tua itu bersuara berat, mengiang di benak Burhan. Suara Wak Sahilin, lelaki Komering berduit yang terkenal keras hati. Setiap teringat ultimatum Wak Sahilin, kemasygulan memangsa hati Burhan. Sulit memutuskan pilihan.

Sepotong bayang wajah manis datang lagi, wajah Aminah, perawan pemalu putri Wak Sahilin. Tujuh bulan sudah perkenalannya dengan Aminah. Aminah adalah sebuah rencana perjodohan yang disiapkan oleh Wak Sahilin untuk Burhan. Hutang budi-lah yang mengantar perjodohan ini terjadi.

Ayahnya Burhan adalah sahabat Wak Sahilin. Jasa ayahanda Burhan begitu banyak dirasakan Wak Sahilin sejak ia pertama kali datang ke Kota Palembang. Selain sebagai sahabat, ayahnya Burhan bagai sebuah pintu gerbang Wak Sahilin mengawali kesuksesannya menjadi tauke beras dan buah duku pada saat musimnya.

Ayah Burhan yang berpengalaman dagang di Pasar 16 Ilir turut andil membantu Wak Sahilin mengalahkan kerasnya persaingan niaga di Kota Palembang. Hutang budi itu tak sempat dibayar langsung karena ayah Burhan keburu meninggal. Hutang budi yang Wak Sahilin rasa tidak cukup dibayar hanya dengan uang dan barang-barang.

Pernah Wak Sahilin melamar ibunda Burhan yang menjanda itu untuk menggantikan peran ayah Burhan, tetapi ditolak karena ibu Burhan tak mau menyakiti hati istri Wak Sahilin.. Akhirnya, mengangkat Burhan sebagai menantu adalah pilihan terakhir Wak Sahilin untuk melunaskannya.

Awalnya Burhan menolak dijodohkan. Tetapi setelah bertemu langsung dengan Aminah dan mengenal kelembutannya lebih jauh, cinta Burhan pun bersemi. Aminah pun jatuh hati dengan kebersahajaan Burhan. Perjodohan berjalan lancar. Tujuh bulan berlalu, hajat pernikahan kemudian dirancang dua belas hari lagi setelah awal tahun bergulir.
Tapi kini semua rencana berantakan. Gejolak revolusi kemerdekaan membawa Palembang harus terjerumus dalam situasi gawat perang di awal tahun 1947. Situasi yang akhirnya memerangkap Burhan dalam kebimbangan.

Kalian kira bisa menang perang lawan Belanda? Buyan galo! Sultan Palembang saja dahulu menyerah. Bapak kau dulu juga aku nasehati seperti ini, tapi tak mau dengar. Akhirnya, Bapak kau juga kalah. Dak pacak-lah mengalahkan Belanda. Bengak nian kamu ni!”

Suara Wak Sahilin datang lagi. Kata-kata Wak Sahilin itu menohok hatinya. Kata-kata itu kali ini mengantar pikiran Burhan menyambangi kenangan akan emaknya.

Emak Burhan adalah seorang janda tangguh. Kehilangan dua pria penting dalam hidupnya secara tragis tak membuat ia ringkih dikikis kesengsaraan. Dua gurat luka disematkan pemerintah Belanda ke dalam hatinya. Kehilangan ayahnya sewaktu ia masih sebaya gadis-gadis remaja adalah goresan pedih pertama yang diukir Belanda dalam hati emak.

Ayahnya emak adalah salah satu murid Ki Delmat yang tersohor sebagai seorang ulama besar yang membangun Mesjid Suro. Mesjid itu akhirnya dibongkar Belanda setelah Ki Delmat diusir dari Palembang karena dakwahnya dianggap berbahaya bagi pemerintah. Namun perjuangan dakwah beberapa muridnya tidak terhenti. Ayahnya emak adalah penerus Ki Delmat yang paling keras terhadap pemerintah. Ceramah-ceramahnya di setiap pengajian kerap kali terang-terangan mengkritik pedas kebijakan Tuan Residen yang dinilai tidak berpihak kepada kaum pribumi.

Sampai pada suatu hari, ia ditangkap atas perintah langsung Tuan Residen dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Bukan hanya itu, ia juga diasingkan dari rekan-rekannya,  jamaah pengajiannya, bahkan keluarga sendiri tak diizinkan menemui dan membesuknya. Hingga sekarang nasibnya tak diketahui jelas di dalam penjara. Banyak yang menduga ia sudah dieksekusi mati secara diam-diam oleh Belanda. Emak sendiri telah menganggap ayahnya sudah mati. Peristiwa itu dicatat emak sebagai prasasti dendamnya yang pertama kepada Belanda.

Waktu pun berlalu tetapi luka ibunda Burhan tak berhenti sampai di situ. Saat ia telah menikah dan dianugerahi si kecil Burhan yang baru berumur empat tahun, Belanda kembali mencabik hatinya dengan merenggut ayah Burhan dari rumah untuk selamanya. Suaminya ditangkap karena terlibat dalam suatu komplotan pembangkang rencana pembangunan Watertoren di Kota Palembang. Rencana pembangunan ini ditolak karena biaya yang diperlukan sangat tinggi dan tentu saja akan didapat dari hasil memeras keringat dan tulang rakyat Palembang.

Ayahnya Burhan langsung dijebloskan ke penjara, namun keesokan hari ia dikembalikan ke rumahnya. Dipulangkan dengan keadaan telah tewas dalam tahanan. Beberapa bagian tubuhnya lebam, lehernya patah. Tidak banyak keterangan dari pemerintah tentang musabab kematiannya. Kepala sipir hanya mengatakan bahwa ayah Burhan mati karena mencoba melawan dan melarikan diri. Gurat luka kedua ini membuat dendam di hati emak semakin menggumpal, membesar dan membatu.

Peristiwa-peristiwa itu di kemudian hari terus-menerus dikisahkan kepada putra tunggalnya. Burhan pun tumbuh di atas gumpalan dendam ibunya. Jika seseorang bertanya tentang kakek dan ayahnya, maka Burhan kecil menjawab singkat bahwa mereka dibunuh Belanda. Demikian sang emak mewariskan luka di hatinya sampai anaknya tumbuh dewasa.

Revolusi kemerdekaan pun hadir. Jepang yang sebelumnya mengusir Belanda, kini malah bersiap hengkang dari tanah Palembang. Kabar tersiar bahwa Belanda akan kembali ke Palembang menggantikan Jepang yang kalah perang. Burhan mengingat pesan emak di saat itu.

“Nak, di dalam nadimu mengalir kental darah perlawanan terhadap Belanda. Nafasmu adalah penolakan untuk Belanda. Jangan Kau biarkan mereka kembali ke tanah kelahiranmu. Jika Belanda menginjak Palembang lagi, emak harap tanganmu menjadi maut bagi mereka.”

Lalu Burhan masuk tentara. Emak pun senang putranya punya kesempatan mengangkat bedil yang selama ini hanya dimiliki Belanda. Satu bulan kemudian emak meninggal karena gangguan pernafasan. Emak wafat saat baru saja dua bulan Burhan berbunga-bunga karena kehadiran Aminah.

Aminah yang manis, perawan pemalu putri Wak Sahilin. Wajahnya datang lagi di kepala Burhan. Berganti wajah Wak Sahilin, lalu bayang-bayang emak, digilir bayang-bayang wajah-wajah para pejuang. Wajah manis Aminah lagi, Wak Sahilin, terus, dan terus.

“Apa yang kau lakukan di sini, Burhan?!”

Sebuah suara membentak keras, menyeret paksa Burhan keluar dari kekalutan pikirannya. Lidahnya sontak gelagapan karena terkejut.

“Ti..ti.. tidak melakukan apa-apa, Letnan.”
“Sendirian, melamun pula! Kau tahu patroli air Belanda bisa saja sewaktu-waktu lewat di sini? Cari mati kau!”
“Maafkan saya, Letnan.”
“Ada apa denganmu? Punya masalah?”
“Tidak ada, Letnan. Tidak ada masalah.”
“Kembali ke pos! Gantikan Ramli berjaga!”
“Siap, Letnan!”

Belum sempat bergerak kaki Burhan mematuhi perintah komandannya, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tembakan-tembakan dari arah pos pertahanan. Dua orang pejuang itu sigap berlari menghambur ke arah bunyi baku tembak. Segera saja moncong karaben mereka turut bergabung memuntahkan letusan, pertempuran pun digelar kembali. Perang hingga sore hari tadi ternyata belum juga mau rehat.

                                                                                  ***

Wajah bulan separuh telah lenyap dimakan mendung malam. Langit berubah warna menjadi merah kelabu. Angin bertiup liar. Di dalam barak, Burhan baru saja dapat kesempatan berbaring setelah tugas jaganya digantikan pejuang lain. Burhan memejamkan mata namun tetap tak dapat tidur walau tubuh sudah semakin lelah akibat baku tembak satu jam yang lalu.

Pertempuran yang barusan terjadi adalah bentuk gangguan kecil patroli malam Belanda kepada pos-pos pertahanan pejuang. Sebuah pertempuran kecil, hanya sebentar memang, namun satu rekan Burhan roboh dicium timah panas serdadu Belanda. Ramli, teman masa kecilnya, gugur. Selama ini Burhan sudah terbiasa melihat pejuang-pejuang lain mati dalam pertempuran, tapi tidak dengan kematian Ramli, sahabat kentalnya.

Tepat di depan mata, Burhan menyaksikan darah Ramli mengalir keluar dari liang bekas peluru di kepala. Darah itu kini masih mengalir, menjalari jiwa Burhan, memenuhi ruang-ruangnya dengan sesak. Darah itu mendatangkan gemuruh keras di dalam dadanya, membawanya mengenang masa-masa kecil bersama Ramli. Darah Ramli membanjiri isi kepala Burhan dan perlahan menenggelamkan wajah manis Aminah yang masih melayang di sana.

Burhan menghisap nafas dalam dan berat lalu menghempaskannya perlahan. Pilihan telah ia jatuhkan berbarengan dengan hembus udara yang ia lepaskan.

“Tak sanggup kusia-siakan kematian Ramli. Tak mungkin aku tinggalkan perjuangan ini. Selamat jalan, Aminah. Semoga kau menemukan kebahagiaan..”

Burhan akhirnya mengetuk palu keputusan di atas hati yang perih. Pecahlah sang hati menjelma ruang hampa di dadanya. Di sisi lain, matilah sebuah keresahan yang sejak tadi membuncah. Calon istri tercinta ditukar dengan sebuah perjuangan.

Mendung di langit kian berat lalu pecah. Seketika hujan lebat menghambur deras. Angkasa menyala-nyala disusul gemuruh guntur yang sambar-menyambar. Angin semakin binal dan dingin. Burhan berusaha tidur agar mampu menenggelamkan wajah Aminah di dasar angan, selamanya.

***

Sepuluh orang wanita merundukkan badan serendah-rendahnya di balik semak rumput yang tinggi. Delapan orang menggendong bakul besar yang terisi penuh makanan sedang sisanya membawa banyak kendi yang terisi air. Lima belas meter di depan mereka membentang sebuah jalan yang kini sedang dilintasi sebuahjeep kap terbuka berisi tiga orang tentara Belanda.

Kesepuluh wanita menahan nafasnya. Sekali kepergok oleh tentara Belanda berarti maut segera menjemput. Jantung mereka berpacu bersama rasa takut. Keringat mengucur perlahan. Tidaklah mudah bagi mereka menembus garis belakang pertahanan para pejuang. Mereka harus bergerak cepat dengan beban yang berat. Berjalan melalui jalan-jalan pintas, menghindari tepian sungai dan jalan-jalan besar agar tidak bertemu dengan Belanda yang telah mempersiapkan blokade bagi pertahanan pejuang. Namun ini adalah tugas mulia para wanita, mengantarkan makanan untuk para pejuang.

Jeep Belanda itu kemudian berlalu dan menghilang di tikungan jalan. Sepuluh nafas menghempas lega. Mereka kembali bergerak cepat. Tanah becek bekas hujan semalam membuat perjalanan terasa semakin sulit.

“Baidah, kemana kiranya Asnawi dan Harun? Biasanya mereka menjemput kita di sini?” seorang wanita separuh baya setengah berbisik bertanya kepada seorang wanita lain yang berkulit hitam.

“Tak tahu aku. Mungkin mereka terlambat, atau sedang berperang. Mungkin juga telah mati tertembak. Yang jelas kita tak bisa menunggu lagi, kita jalan sendiri menembus Sekanak,” tegas wanita berkulit hitam.

Bik Baidah, seberapa jauh lagi?” seorang gadis dalam rombongan itu juga berbisik sambil meringis menahan lelah dan pegal di kakinya.

“Lumayan jauh. Ngapo, kau? Dak tahan lagi berjalan?”

Si gadis menjawab pertanyaan balik itu hanya dengan senyuman lalu meringis lagi.

“Ay, ay, dasar betino rumahan, dak pernah berjalan jauh. Bertahanlah, bukankah kau hendak menemui keponakanku?”

Si gadis pun mengangguk kecil. Rombongan wanita itu kembali melanjutkan perjuangan mereka. Bergerak sigap menyeberang jalan lalu mengarah ke utara masuk ke dalam area yang masih dirimbuni oleh pepohonan. Suara peperangan di empat penjuru angin mengantar langkah-langkah kaki mereka yang berat karena tanah licin dan basah.

Akhirnya mereka sampai ke tujuan, pos pertahanan Sekanak. Mereka datang di waktu yang tepat saat para pejuang baru saja mundur sejenak dari medan tempur karena serangan mereka ke pos Belanda di belakang Benteng Kuto Besak gagal. Para pejuang sedang menanti perintah baru dari para komandan. Alangkah girang mereka saat melihat rombongan wanita pengantar makanan telah tiba. Senyum pun mengembang karena memang hingga matahari tergelincir ke barat saat ini perut mereka kosong tak terjamah makanan. Tentu saja dalam perang masih dibutuhkan makan.

***

Burhan terperangah. Seorang gadis dengan senyuman manis yang tak ada duanya bagi Burhan datang menghampirinya perlahan. Seorang gadis yang sejak kemarin telah mengacaukan hati, mengeruhkan pikiran. Gadis yang wajahnya baru saja ia tenggelamkan semalam ke dalam dasar angan-angan.

“Aminah..? Kau..?”
“Ya, Kak, aku.”
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Mengantar makanan untukmu.”
“Ah.. maksudku, kenapa kau ada di sini? Seharusnya kau sudah berangkat balek ke dusun bersama bapakmu.”
“Aku lari dari rumah semalam, Kak. Lalu ke rumah Bik Baidah, minta diantarkan menemuimu.”
“Kau lari dari rumah?”
“Ya, Kak.”
“Jadi, kau bergabung dengan rombongan Bik Baidah?!”
“Ya.”
“Mengapa ini kau lakukan? Kota ini berbahaya untukmu.”
“Aku hanya ingin bertemu denganmu, Kak,” kepalanya tertunduk pipinya memerah.
“Tapi, Minah..”
“Sudahlah, Kak, aku sudah di sini. Aku menghormati pilihanmu yang tak bersedia datang dan memenuhi permintaan bapak. Kuhormati pilihanmu untuk tetap berperang membela kemerdekaan kota ini. Kurhormati pilihanmu untuk tidak memilihku..”

Burhan terdiam. Dipandanginya wajah Aminah lalu ia sadar cinta di hatinya belum tenggelam. Ia sadar rindu yang ada ternyata begitu tebal.

“Tapi, tolong hormati juga pilihanku, Kak. Aku telah memilih meninggalkan keluargaku. Hormati pilihanku untuk terus bersamamu. Jika kau mencintai kota ini dan terus akan berjuang mempertahankannya, maka aku akan berjuang untuk selalu mendampingi perjuanganmu.”

Dada Burhan bergetar mendengar kalimat yang terakhir. Diraihnya wajah Aminah dengan jemari. Dihapusnya titik air mata yang mulai jatuh di pipi Aminah. Cinta bujang dan gadis pun mengalir, lebih deras dari aliran Sungai Musi. Berpadu, seakan menyejukkan tanah Palembang yang sedang membara karena perang. Terus mengalir, hingga tiba-tiba terhenti ketika tanah di sekitar pos pertahanan Sekanak meledak, berguncang keras lalu terbongkar berhamburan. Pos pertahanan Sekanak diserang, barak-baraknya porak poranda. Mortir Belanda telah ditembakkan dari jarak jauh.

Burhan cepat menarik lengan Aminah, mengajaknya segera lari menyelamatkan diri. Hujan mortir terus jatuh dari langit dan meledak-ledak di belakang mereka. Beberapa pejuang roboh mandi darah ditimpa peluru mortir. Para wanita pengantar makanan tak urung ikut bertumbangan.

Burhan dan Aminah terus lari, sampai sebuah ledakan membuat mereka melesat terbang. Jauh hingga angkasa. Terbang berdua, bersama cinta. Mereka terbang dengan damai, sedangkan tubuh mereka tersungkur berdarah di atas tanah Palembang.

***
Palembang, Desember 2011

*   Mengenang Perang 5 Hari 5 Malam di Palembang (1-5 Januari 1947).





Keterangan:

Keresidenan            : sebutan untuk sebuah daerah (kota) yang dipimpin oleh
                                seorang residen (walikota) pada masa kolonial Belanda.

Buyan galo              :  tolol semua

Dak pacak-lah          :  Tak bisa-lah

Bengak nian             :  bodoh betul

Komering                 :  salah satu suku di Sumatera Selatan

Mesjid Suro              :  salah satu mesjid bersejarah di Kota Palembang yang dibangun pada tahun
                                   1889 oleh KH. Abdurrahman Delamat (Ki Delmat)

Watertoren              :  Menara Air, adalah sebuah bangunan yang dibangun Belanda
                                 pada tahun 1929 berfungsi sebagai instalasi air bersih di Kota Palembang.
                                 Gedung Menara Air atau yang biasa disebut Kantor Ledeng itu kini telah beralih fungsi
                                 menjadi Kantor Walikota Palembang.

Karaben                   : sejenis senapan laras panjang

Bik (bibik)                :  bibi

Ngapo                     :  kenapa

Dak                         :  tidak

Betino                      :  perempuan

Kuto Besak               :  sebuah benteng pertahanan bersejarah yang dibangun pada masa
                                  Kesultanan Palembang Darussalam oleh Sultan Mahmud Badaruddin II.

Balek                        :  pulang







Komentar