Simfoni Usang

“Mingir, Bu! Minggir!,” teriak seorang petugas Pol PP sangar kepada seorang wanita setengah baya.
“Pak, tolong, Pak, jangan dibongkar, jangan dibongkar!,” jerit tangis wanita itu meratap sambil memegangi tangan petugas. Sementara anaknya yang berumur 6 tahun meraung-raung tanpa henti. Ketakutan dan kebingungan.
“Maaf, Bu, ini perintah untuk kami!,” cetus petugas itu sambil mengibaskan tangan untuk melepas cengkeraman jari wanita itu di lengannya. Wanita itu terdorong ke belakang. Tangisnya menjadi-jadi.
“Jangan sekali-sekali maju, Pak! Kalian harus membunuh saya dahulu sebelum merobohkan rumah kami!,” seorang lelaki berseru lantang menantang para petugas. Tangan kirinya berkacak pinggang. Tangan kanannya menunjuk-nunjuk. Matanya merah amarah. Anaknya yang berumur 6 tahun tetap meraung-raung.

Seorang petugas berkumis yang kelihatan paling galak, mendorong tubuh kurus laki-laki itu kuat-kuat. Ia terpelanting ke belakang. Namun segera bangkit lagi dan balas menabrakkan dirinya ke arah tubuh petugas. Petugas itu sigap melakukan gerakan tertentu hingga ia mampu menguasai liarnya amarah tubuh lelaki itu. Beberapa petugas lain segera berkerubutan memegangi dan membawa laki-laki itu menyingkir dengan paksa. Lelaki itu memberontak. Namun apalah daya seorang yang kurus kering macam dia melawan tubuh-tubuh yang liat dan lumayan gempal itu. Akhirnya ia dapat dinetralisir oleh petugas. Tubuhnya dinetralisir, tetapi tidak tangisnya.

Lelaki itu menangis dan menjerit-jerit, isterinya juga, demikian pula anaknya yang berumur 6 tahun. Tiga tangisan. Tiga tangisan yang berbaur dengan belasan tangisan lain yang tumpah di sebuah 'real estate' liar di atas sebidang area yang kumuh. Namun apalah arti sebuah tangisan melawan keinginan angkuh nan dingin dari sebuah kota besar.

Tangis-tangis itu cuma jadi musik pengantar bulldozer merobohkan dinding rumah-rumah liar itu. Sementara belasan pasang mata petugas hanya bisa menatap tangisan-tangisan tersebut. Ini adalah tugas. Tiada bergaji mereka jika tak menjalankan tugas. Berlangsunglah simfoni usang yang biasa dimainkan oleh sebuah kota besar. Simfoni yang terus dimainkan dari dulu hingga sekarang di negeri ini.

********


Senja telah lelap di ufuk barat. Bekas-bekas gusuran masih terlihat di bawah temaram lampu jalan. Sementara orang-orang yang tadi siang menangis tampak masih terduduk di sekitar tempat kumuh itu. Mereka tak lagi menangis. Mereka sekarang diam. Yang terdengar hanya sisa isak tangis anak-anak. Tak tahu mau kemana. Tak ada tempat berbaring selain aspal beralas koran. Tak ada alternatif atap berteduh kecuali kolong jembatan. Menangis, sudah tiada guna.

Sementara itu juga, di beberapa rumah, beberapa orang lelaki yang siang tadi terpaksa membentak-bentak, mendorong bahkan menjungkalkan orang-orang yang lemah, jatuh dalam lamunan. Lamunan tentang tugas yang telah mereka tunaikan tadi. Beberapa dari mereka memiliki hati yang sedang sedikit terguncang. Sedih karena telah menjalankan tugas. Luruh membayangkan bagaimana nasib penghuni-penghuni rumah yang mereka gusur tadi. Tapi tugas adalah tugas.

Petugas Pol PP, para penghuni 'real estate' liar, tiada daya mereka melawan kehendak kota besar. Kota besar yang selalu angkuh, dingin, mewah, senantiasa ingin bersolek, tak mau kekumuhan, namun juga tak peduli dengan kemelaratan, kemiskinan. Simfoni usang yang tak kunjung usai di negeri ini.

Komentar

  1. suatu realita ketika PEMBANGUNAN MEMINGGIRKAN ORANG MISKIN, PEMBANGUNAN BUKAN MENGGUSUR KEMISKINAN NAMUN YANG TERJADI ADALAH MENGGUSUR ORANG MISKIN!!

    BalasHapus

Posting Komentar