Orang Bijak

“Mari masuk, Nak. Jangan sungkan-sungkan,” kata seorang kakek tua ramah kepada seorang tamunya pemuda yang wajahnya penuh dengan senyuman. “Tampaknya Kau datang dari jauh?,” lanjut kakek itu bertanya.
“Ya, Kek. Aku berasal dari seberang,” jawab sang pemuda.
“Tentu keperluanmu sungguh penting hingga mampir kemari, bukan?”
“Ah, aku hanya kebetulan lewat daerah ini lalu ingin mampir ke rumahmu untuk sekedar bertanya. Mungkin tidak terlalu penting.”

“Orang-orang yang datang ke rumahku selalu membawa masalah yang penting. Mereka datang meminta nasehat dan pertimbangkanku demi pemecahan masalah mereka. Bagaimana pula kau bersusah-susah datang kemari hanya sekedar mampir dan bertanya suatu hal yang tidak penting, Anak muda?”

“Maaf, Kek. Aku dengar-dengar dari orang-orang di luar bahwa Kakek adalah orang yang sangat bijaksana. Apakah benar itu, Kek?”
“Aha, kau ternyata telah mendengar tentang diriku, Anak muda. Apa yang di katakan orang-orang itu benar. Aku memang orang yang bijaksana, setidaknya begitulah mereka menjulukiku.”
“Apakah kau yakin bahwa kau benar-benar bijaksana, Kek?”
“Apa maksud pertanyaanmu, Nak? Kau meremehkan aku!?”
“Oh, maaf, maaf, Kek. Bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin tahu seberapa yakin dirimu akan kebijaksanaanmu.”

“Baiklah. Aku sangat yakin bahwa aku adalah orang yang bijaksana. Seumur hidupku tak pernah kudapati seseorang pun yang kecewa dengan nasehat-nasehat serta pertimbanganku untuk pemecahan masalahnya. Semua pertanyaan, permasalahan dan kebingungan orang-orang telah mampu ku atasi dengan ilmu dan kearifanku. Puluhan tahun aku telah menolong banyak orang keluar dari keruwetan pola pikir mereka dengan wejanganku. Nah, apakah itu cukup bagimu, Anak muda?”

“Baik, baik. Lalu apakah Kau bangga disebut orang bijak?”
“Ya, tentu saja, Nak.”
“Bangga menjadi orang bijak atau bangga disebut sebagai orang bijak?”
“Ya, kedua-duanya.”
“Lalu Kau benar-benar menunjukkan kepada orang-orang lain bahwa Kau benar-benar bijaksana?”
“Ya, tentu saja. Buat apa disembunyikan. Sebentar, sebentar, Anak muda. Sebenarnya apa maksud pertanyaan-pertanyaan mu ini?”
“Kau seorang yang bijak, tentu sangat paham tentang arti kebijakan, bukan?”
“Ya.”
“Apakah semua permasalahan dapat Kau pecahkan selama ini?”
“Ya. Seingatku tak ada orang yang kutolak ketika meminta pendapatku. Dan setiap ada yang datang aku pasti mampu membantunya.”
“Baik, Kek. Aku punya satu permasalahan yang aku harap Kau dapat membantu memberikan pandanganmu, Kek.”
“Baiklah, katakan itu.”

“Jika ada seorang yang memiliki kekuatan fisik yang luar biasa dan ia menyadari ia memiliki kekuatan itu. Semua orang mengakui kekuatannya. Lalu ia bangga karena semua orang kagum dengan kekuatannya. Kemudian ia memamer-mamerkan kekuatanya kepada orang lain sehingga orang-orang semakin takjub padanya. Setiap orang yang datang berharap dapat pertolongan dari kekuatannya. Ada yang datang meminta sebuah gunung dipindahkan saja dari desa mereka ke tempat lain, maka ia pun memindahkan gunung itu ke tempat lain. Ada yang meminta pertolongan supaya dibantu memukul lawan-lawan mereka dalam sebuah perang, ia pun menghancurkan semua lawan-lawan itu. Ia semakin bangga karena semua orang memuji kekuatannya. Ia bangga karena semua orang mengandalkannya.” Sang pemuda berhenti sejenak.

“Terus, apa masalah sebenarnya, Anak muda?”
“Saya ingin bertanya, Kek. Apakah orang yang kuat itu bijaksana terhadap kekuatannya?”
“Tentu saja ia tidak bijaksana terhadap kekuatannya, Nak.”
“Kenapa?”

“Tidaklah pantas ia memamer-mamerkan kekuatannya pada orang lain. Nanti ia jatuh kepada kesombongan. Lalu tidak pantas ia menerima permintaan tolong dari semua orang. Ia harus pandai-pandai memilih mana yang harus ditolong mana yang tidak. Memindahkan gunung ke tempat lain adalah belum tentu suatu hal yang bijaksana. Siapa tahu gunung itu adalah penyeimbang alam dari desa tersebut. Demikian juga membantu suatu kaum berperang melawan kaum lainnya. Dari mana ia tahu bahwa kaum yang dibantunya berada di pihak yang benar. Semua harus ada ilmunya dan disertai pembuktian yang nyata. Dan satu lagi, Anak muda, ia harus berhati-hati dengan kebanggaannya.” Kakek itu menutup penjelasannya sambil sedikit terbatuk-batuk.

“Tidak pantas memamerkan kekuatan, tidak bijak jika memutuskan sesuatu perkara tanpa ada ilmu dan pembuktian, dan terakhir hati-hati dengan kebanggaan. Tiga hal itu adalah inti jawabanmu, kan Kek?”
“Ya.”
“Baiklah kalau begitu aku permisi dulu, Kek. Aku kira aku sudah cukup membantu menyelesaikan permasalahanmu sendiri, Kek.”
“Apa maksud mu? Permasalahanku? Aku tak punya permasalahan.”

“Permisi, Kek. Terima kasih banyak. Salam,” ujar pemuda itu sambil berdiri, tersenyum, membungkuk hormat pada sang kakek, kemudian berlalu.

"Hei, tunggu dulu!"

Sang pemuda melangkah cepat keluar dari pintu. Sang pemuda terus pergi tak menghiraukan panggilan sang kakek di belakangnya. Ia terus berjalan sambil tersenyum. Ia tahu bahwa orang bijak yang barusan ia temui tidaklah cukup bijaksana. Ia melanjutkan perjalanannya mencari kebijaksanaan yang sejati.

Sementara sang orang bijak akhirnya cuma bisa melongo memandang kepergian pemuda itu. "Permasalahanku?," batinya terus bertanya-tanya.

Tanpa mereka sadari, sedari tadi seorang remaja tanggung menguping percakapan mereka. Remaja itu membatin heran, "Siapa sebenarnya yang bijaksana dan siapa yang congkak? Orang tua atau pemuda itu?" Tak lama setelah itu ia pun tersenyum. Baginya kedua orang itu congkak.

Komentar

  1. kembali tulisan ini suatu pengingat atau lebih pas suatu sindiran...

    dunia memang sulit untuk diterjemahkan dalam bentuk kata,tulisan,ucapan, bahkan pikiran.

    benar mungkin einstein mengenai relativitasnya....

    jadi apa yang mutlak

    yang jelas Tuhan lah yang Mutlak

    namun, kita tetap perlu

    “Tidak pantas memamerkan kekuatan, tidak bijak jika memutuskan sesuatu perkara tanpa ada ilmu dan pembuktian, dan terakhir hati-hati dengan kebanggaan. Tiga hal itu adalah inti jawabanmu, kan Bung Anton?”

    BalasHapus
  2. haha..oleh karena itulah Tuhan menciptakan kita untuk saling melengkapi. karena tidak ada yang paling bijaksana di antara kita. Thanks, Bung Uja

    BalasHapus
  3. Hei...waktu membaca tulisan ini, aku teringat salah satu dialog dalam Novel "Buddha", karya Deepak Chopra. Dialog antara Siddharta Sang Petapa (sebelum menjadi Buddha) dengan gurunya. Siddharta yang terus gelisah mencari kebijaksanaan, dan "tidak puas" dengan Sang Guru; kemudian Siddharta pergi meninggalkan Sang Guru untuk terus mencari kebijaksanaan.

    BalasHapus
  4. o ya..benarkah? aku blm pernah baca itu. Thanks ya Bung Gali. Itu artinya masalah kebijaksanaan memang sering dikupas utk memuaskan jiwa-jiwa manusia.

    BalasHapus

Posting Komentar