Kisah Asa Di Atas Jalan Yang Terasa Tak Rata (Sebuah Cerpen)

Arif gelisah memandang-mandangi ponselnya. SMS balasan yang ditunggu-tunggunya tak kunjung datang. Tiada dering dan getar yang tercipta dari telepon genggam itu. Alih-alih menanti SMS, Arif malah kedatangan air hujan yang turun tak tertahankan dari langit. Air yang dicurahkan dari angkasa itu jatuh makin lama makin deras. Untung saja ia berada di bawah cungkup sebuah bangunan mirip halte bis di pinggir sebuah taman sehingga ia tidak terguyur hujan.

 Arif masih gelisah. Gelisah bukan karena terjebak hujan. Hatinya benar-benar berharap SMS yang barusan dikirimnya dapat dibalas. Balasan SMS itu ia yakini bisa membuat hatinya tenang dan yang paling penting tidak mencuatkan prasangka yang tidak mengenakkan apalagi menimbulkan rasa kecewa. Ia sangat berharap ia tidak berprasangka dan tidak kecewa.

 Sudah beberapa hari ini orang yang dituju oleh SMS-nya tidak pernah menjawab semua pesan. Ingin rasanya ia berangkat pergi ke tempat orang yang dituju itu. Tetapi ia masih butuh izin supaya dirinya merasa diterima di kota orang itu. Ia butuh izin dari orang itu sendiri agar ia dapat berkunjung ke sana. Lalu sekarang bagaimana mungkin ia mendapat izin kalau orang itu tidak dapat dihubungi. Arif tak mengerti mengapa ia menjadi begitu rindu dengan orang ini. Padahal belum lama ia mengenalnya. Bahkan bertemu pun belum. Hanya ada sebuah foto yang dikirim melalui perantara MMS.

 Arif menampilkan foto orang itu di layar ponselnya. Wajah orang itu begitu manis di mata Arif. Senyum kecil orang itu begitu bersahaja dan anggun. Namun yang paling penting bagi Arif dari semua itu adalah kata-kata yang dilontarkan oleh temannya, Sardi. Kata-kata Sardi lah yang meyakinkan dirinya untuk berkenalan dengan orang itu. Masih terngiang kata-kata itu di telinganya.

 “Yanti itu orangnya enak diajak ngobrol. Ia banyak menyukai hal-hal yang juga kau sukai, Rif. Aku melihat sepertinya aura dia cocok dengan kamu,” kata Sardi bersemangat. “Dan yang paling penting, Yanti itu bisa menerima orang apa adanya,” lanjut Sardi.

 “Ah, masa sih, Di ?,” tanya Arif tak percaya.
“Beneran, lho. Di coba dulu, deh.”
“Tapi dia jauh, Di.”
“Alah, hanya sekitar lima puluh kilometer dari kota ini. Kamu bisa dengan mudah menjumpainya.”

Sardi adalah teman yang paling ia percaya sejak kelas tiga SMA. Artinya sudah hampir sebelas tahun kepercayaan itu ia tumbuhkan terhadap Sardi. Karena kepercayaan itu, Arif menurut dan melanjutkan keinginan Sardi untuk mengenalkannya dengan Yanti.

Awal yang cukup baik berjalan lancar untuk Arif dan Yanti. Perkenalan yang renyah dan sungguh hangat. Tidak ada harapan yang Arif ciptakan di awal-awal perkenalan itu. Tidak ada keinginan dari hatinya untuk ikut terlibat dalam rasa yang berlebihan. Arif hanya merasakan senang dapat berkenalan dengan seorang wanita yang ia pikir smart. Terlebih lagi ia pandai berbahasa Inggris. Ya, Yanti adalah seseorang guru bahasa Inggris di sebuah SMP. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan dirinya.

Arif sangat terkesan dengan penilaian Yanti yang mengatakan, “Nobody’s perfect.” Yanti menilai semua orang tidak ada yang sempurna. Di tengah-tengah semua kelebihan yang dimiliki oleh seseorang, juga yang di ele-elukan semua orang, pastilah terdapat satu atau beberapa kekurangan untuk menyeimbangkan kelebihan-kelebihan tersebut. Demikian juga sebaliknya. Sebuah pernyataan yang menyiratkan kebijakan sikap seorang wanita berjilab berprofesi guru. Sebuah kedewasaan berpikir yang muncul dari nurani seorang wanita yang mau menerima orang lain apa adanya.

Waktu terus berjalan. Perbincangan antara Arif dan Yanti dihabiskan melalui SMS. Percakapan kebanyakan terjadi jika Yanti memulainya. Jarang sekali Arif memulai sebuah perbincangan. Pengalaman yang dialami oleh Arif dalam hidupnya membuat ia selalu mencoba berhati-hati apabila sudah mulai dekat dengan seorang wanita. Arif sesekali saja memulai menyapa Yanti melalui SMS-nya. Hampir semuanya dilakukan dengan SMS, hanya satu kali ia menelpon Yanti. Ia merasa tak mau menjadi pengganggu ketenangan waktu-waktu milik Yanti. Ia hanya menunggu kalau-kalau Yanti memerlukannya untuk ngobrol. Arif tanpa sadar telah merindukan sebuah perasaan nyaman. Perasaan nyaman yang hadir jika ia sedang bercakap-cakap dengan Yanti walaupun cuma lewat SMS. Namun begitu, tidak ada keinginan yang berlebihan bermain bersama hatinya. Tidak mau Arif menumbuhkan keinginan itu. Lagi-lagi pengalaman hidupnya mengajarkan demikian. Demikian seterusnya sampai pada satu saat.

Di suatu waktu di tengah-tengah istirahat siangnya, Arif disapa oleh sebuah SMS yang datang dari Yanti. Pada bagian tertentu dari percakapan mereka, ada sebuah kalimat Yanti yang mendatangkan sebuah perubahan bagi Arif. Sebuah perubahan dalam hatinya. Perubahan yang selama ini selalu ditolaknya, kerap disangkalnya.
“Kakak pernah tidak datang ke kota ku?,” tanya Yanti.
“Tidak pernah. Memangnya kenapa?” Arif sedikit ingin tahu kenapa Yanti menanyakan hal itu.

“Ada gak keinginan untuk mampir kesini?,” tanya Yanti lebih lanjut.

Pertanyaan inilah yang membuat terjadinya sebuah perubahan dalam hati Arif. Selama ini Arif berpegang teguh pada apa yang telah diajarkan oleh pengalaman hidupnya. Tapi pertanyaan Yanti itu perlahan menggoyang keteguhan hati Arif. Sebuah undangan dari Yanti agar ia datang ke kotanya. Bagi Arif pertanyaan itu kini menjelma sebuah bentuk harapan yang menggapai-gapai dirinya. Ia merasa Yanti mengharapkan kehadirannya di kota itu. Pikiran itu kemudian menumbuhkan kembali apa yang sebelumnya terkubur. Dan sesuatu yang tumbuh itu membesar subur begitu cepat. Perasaan itu semakin diperkuat oleh sebuah kalimat lagi yang keluar dari bibir Yanti di lain waktu.

Di sebuah malam di tengah-tengah kesibukan Arif membuat tugas kuliahnya, ia masih menyempatkan diri bercakap-cakap dengan Yanti. Seperti biasa melalui SMS. Mereka sepakat untuk melakukan sesuatu yang kemarin tertunda. Berkirim foto melalui teknologi GPRS. MMS yang mengantar foto Yanti dengan mulus berhasil sampai ke ponsel Arif. Namun foto Arif tidak dapat sampai ke ponsel Yanti dikarenakan alasan yang tidak jelas.

“Ah, kakak jadi tidak enak dengan kamu, Dik. Foto kamu nyampe di sini, sedang foto ku tidak. Mungkin harus pakai nomor operator lain. Kamu punya?,” kata Arif.

“Ah, sudah lah, Kak. Aku tunggu saja yang aslinya datang ke kota ku,” sahut Yanti dalam SMS-nya. 

Lagi-lagi kalimat seperti ini membuat Arif semakin goyah. Apalagi kini Arif telah memiliki foto Yanti. Foto wanita berjilbab itu membawa suatu getaran halus di dalam nuraninya. Getaran halus yang sulit ia cari dari mana sumbernya. Nuansa demi nuansa pun kian menyeret Arif. Akhirnya genap sudah Arif terjatuh. Hatinya jatuh.

Pada suatu sore, datang lagi SMS di ponsel Arif. Arif begitu gembira ketika tahu dari siapa SMS tersebut. Siapa lagi kalau bukan Yanti. Sore itu diskusi melalui SMS memilih tema pembahasan yang cukup unik. Tidak seperti yang biasa mereka perbincangkan. Karena merasa penjelasan yang ia berikan sulit diwakilkan melalui SMS, Arif pun menelpon Yanti.

Sore itu Yanti bertanya tentang permasalahan: apakah wanita dengan pria itu tidak bisa sekedar bersahabat saja? Arif menjawab kalau wanita dan pria akan sukar terlalu dekat untuk sekedar bersahabat. Persahabatan yang terlalu dekat biasanya akan beresiko datangnya rasa cinta dari salah satu pihak. Menurut pengalamannya, cinta yang timbul selalu datang dari sebelah pihak. Sementara pihak yang satunya tidak bisa membalas cinta itu dengan cinta kecuali hanya dengan persahabatan saja. Arif menilai itu terjadi secara alamiah, mengingat kedekatan antara wanita dan pria akan selalu disertai dengan reaksi-reaksi tertentu dari jiwa dan raga yang memang sifatnya kodrati.

Yanti tampak ragu dengan penjelasan Arif. Ia kemudian menceritakan akar masalahnya. Seorang pria di kotanya berusaha mendekati dan menyatakan cintanya. Tetapi Yanti tidak menginginkan cinta dari pria itu, melainkan cuma persahabatan. Sang pria akhirnya menjauhi Yanti. Yanti pun merasa kehilangan teman. Arif pun memberi masukkan untuk membiarkan pria itu seperti apa adanya sekarang. Arif menilai sebaiknya Yanti memberikan pria itu sedikit ruang untuk menenangkan hatinya dan melupakan Yanti. Menurut Arif bisa jadi pria itu benar-benar suka padanya. Arif menyarankan Yanti agar menyatakan kenginannya untuk tetap bersahabat dengan pria itu hanya melalui satu SMS. Jika memang tidak dibalas, maka biarlah semua mengalir seperti adanya. Pria itu butuh ruang dan waktu untuk menyembuhkan lukanya.

Setelah diskusi sore itu, malamnya berganti Yanti yang menelpon Arif. Arif sumringah bukan main. Ia merasa sangat bahagia Yanti mengajaknya berbicara lewat telepon. Lewat telepon, luar biasa pikirnya. Bukan melalui SMS seperti biasanya. Malam itu pun terciptalah perbincangan yang ringan namun hangat.

Setelah telepon diakhiri Yanti, Arif kemudian masih melanjutkan dengan beberapa potong SMS. Ia ingin mengemukakan uneg-uneg yang selama ini tersimpan dalam dadanya. Uneg-uneg yang harus ia sampaikan kepada Yanti. Apalagi justru Yanti yang akan datang ke kotanya beberapa hari lagi untuk keperluan mencari buku-buku bahasa Ingris. Bukan Arif yang ke kota Yanti seperti rencana sebelumnya. Pikir Arif ini penting karena dalam beberapa hari lagi ia akan bertemu dengan Yanti.

Arif akhirnya mengemukakan apa yang selama ini ia tahan dalam hati dan pikirannya. Ia menyampaikannya sambil bercanda dengan Yanti agar tidak terkesan kaku. Ia meminta Yanti jangan lari ketakutan ketika ia menemuinya. Arif mengaku memiliki wajah yang seram, walaupun kenyataannya wajahnya tidaklah seram. Kurang menarik mungkin, tetapi tidaklah seram. Arif hanya ingin mendramatisir ilistrasi dengan bercanda. Selanjutnya Arif menjelaskan bagaimana perawakan fisiknya secara utuh. Yanti Cuma menjawab, “Santai aja, Kak. Nobody’s perfect.” Jawaban ini seolah menguatkan pernyataan Sardi tentang Yanti bahwa Yanti adalah wanita yang bisa menerima orang apa adanya.

Hari-hari selanjutnya merupakan hari-hari penuh harapan bagi Arif. Dia sudah merasa yakin untuk mulai jatuh cinta kepada Yanti. Ia mulai memutuskan untuk memperlihatkan perasaannya kepada Yanti perlahan-lahan. Ia ingin berusaha semakin dekat dengan Yanti, mencuri hati Yanti perlahan dengan perhatiannya. Ia mulai berani untuk menyapa terlebih dahulu. Ia mulai melontarkan kalimat-kalimat yang bermakna lebih dalam dari sebelumnya kepada Yanti. Kalimat-kalimat yang mungkin terlalu cepat untuk dipahami seorang wanita. Segala sesuatu menjadi berubah cepat seiring berjalannya hari-hari itu.

Yanti mengurungkan rencananya datang ke kota Arif karena sedang sakit. Arif pun sedikit kecewa dengan sesuatu yang tertunda. Akhirnya selama Yanti sakit, perhatian Arif datang lebih sering dari sebelumnya melalui SMS. Kemudian Arif pun menyatakan akan ke datang ke kota Yanti kalau Yanti sudah sehat. Namun itu pun akhirnya tertunda karena sebuah urusan penting datang memaksa untuk dipenuhi. Saat-saat selanjutnya, Arif merasakan percakapan antara ia dan Yanti seiring waktu terasa semakin hambar. Sangat ironis dengan perasaan hatinya yang kian berkibar. 

Waktu terus berjalan. Nuansa-nuansa berganti. Kini Arif menjadi heran. Semakin sering ia mencoba menyampaikan helai-helai hatinya kepada Yanti, namun ia merasa Yanti semakin jauh. Arif mencari-cari apakah ada yang salah. Ia belum mencapai titik puncaknya, tetapi kondisi sekarang sudah menjadi begitu dingin. Tidak ada lagi kedekatan yang lumayan hangat seperti sebelumnya. 

Hujan kini telah berhenti. Satu jam lamanya hujan mengguyur tanah di sekitar tempat Arif berteduh. Satu jam telah cukup untuk membuat suhu di udara berubah dingin. Mungkin sama dinginnya dengan perasaan yang sedang meringkuk di dalam hati Arif. Satu jam ia telah berada di situ melamun dan menanti-nanti SMS-nya dibalas. Menyangka Yanti tak ada pulsa untuk membalas, Arif kemudian menelpon Yanti. Namun dua kali dipanggil, Yanti tetap tidak menjawab telepon. Hal ini juga terjadi kemarin.

SMS-nya sudah beberapa kali tidak pernah dibalas lagi, apalagi teleponnya. Arif mulai takut kalau prasangka yang tidak mengenakkan muncul dari pikirannya. Arif juga takut kalau kekecewaan muncul dari dalam dadanya. Namun akhirnya kedua hal yang ditakutkan oleh Arif itu hadir tak terelakkan lagi.

Ketakutan pertama kali menjelma menjadi sebuah bentuk penyesalan. Arif menyesal kepada dirinya sendiri. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Mungkin ia salah dalam berpendapat tentang persahabatan antara wanita dan pria, mungkin itu tak disukai Yanti. Atau ia mungkin terlalu cepat memberikan perhatian yang berlebih kepada Yanti sehingga Yanti merasa terganggu. Mungkin juga ia dari awal salah mengartikan undangan Yanti yang menyuruh datang ke kotanya. Mungkin memang dari awal Yanti cuma ingin bersahabat. Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Arif. Ketakutan yang pertama pun kini sukses menguasai jiwanya. Ia menyesal. Semua kesalahan akhirnya ditimpakan pada dirinya. Ia membodoh-bodohkan dirinya sendiri. Ia mulai berprasangka buruk kepada dirinya sendiri.

Arif mulai beranjak pergi dari tempat itu. Ia ingin pulang. Ia mulai menyeret langkahnya yang berat. Kaki kanannya sedikit ia seret ketika ia melangkah. Menyeret dalam arti benar-benar menyeret. Lebih tepatnya lutut kanannya tak pernah menekuk saat ia melangkah. Dengan pola melangkah seperti ini, terlihat Arif seperti berjalan diatas permukaan tanah yang sama sekali tak rata. Padahal jelas permukaan badan jalan adalah aspal yang cukup rata untuk dilalui.

Arif bukanlah berjalan di atas permukaan jalan yang tak rata. Namun jalan itu terasa tak rata baginya. Memang Arif adalah penyandang cacat polio di kaki kanannya. Seumur hidup sejak dari berusia tiga tahun ia berjalan pincang dibantu alat penyangga terbuat dari besi yang dipasang di kakinya. Bagi orang pincang, jalan manapun di dunia ini yang ia lalui pasti tidak pernah terasa rata.

Sementara itu, hati Arif masih merasa takut. Ia semakin takut jika kekecewaan juga mulai menguasai jiwanya. Kekecewaan yang ia maksud adalah jika memang benar Yanti menjauhinya karena ia seorang cacat polio. Ia lebih bisa menerima jika Yanti menjauhinya karena ia salah bersikap, bukan karena cacat polio. Prasangka terhadap Yanti mulai menggoda hatinya. Tapi itu ditepisnya kuat-kuat. Yanti adalah wanita yang bisa menerima apa adanya, Sardi tak mungkin salah. Semua ini terjadi pasti karena ia salah bersikap pikirnya. 

Arif berkali-kali melawan kekecewaan yang hendak tumbuh itu. Ia takut kekecewaan itu membawanya menyalahkan Tuhannya. Tuhan yang telah menggariskan ia memiliki cacat itu. “Tidak, tidak, Kau tidak salah wahai Tuhan ku. Kau ciptakan semesta ini dengan bersungguh-sungguh dan tidak main-main. Kau ciptakan semesta ini sesuai dengan kadarnya masing-masing. Kau ciptakan semesta ini dengan penuh hikmah di baliknya. Sungguh aku takkan pernah menyalahkan-Mu, ya Rabb,” jerit Arif dalam hati.

Arif teringat beberapa kisah getir mengenai cintanya yang mungkin terhalang oleh cacat kaki kanannya. Ia teringat bagaimana dunia membawa ia kalah dalam bersaing. Di bidang-bidang lain, tidak pernah ia merasa rapuh. Di dalam kehidupannya, ia berhasil menjalin hubungan perkawanan dengan siapa saja. Terbukti ia memiliki banyak teman dari SD hingga Perguruan Tinggi. Di bidang pendidikan ia tak pernah merasa minder dengan orang-orang lain. Ia bersyukur telah mampu memperoleh gelar sarjananya, bahkan kini ia sedang berjuang melanjutkan kuliah master-nya. Ia tak pernah merasa lemah di bidang-bidang lain, ia tak mau kalah bersaing. Tapi di bidang yang menyangkut hati, perasaan dan cinta, ia terlampau sering jatuh. Ia merasa terlalu rapuh.

Arif telah memperingatkan dirinya untuk tidak mudah jatuh cinta kepada Yanti mengingat pengalaman yang sudah pernah ia alami. Ia benar-benar menjaga hatinya agar sedapat mungkin tidak jatuh cinta kepada Yanti mengingat baru beberapa bulan yang lalu mengalami luka seperti ini. Tetapi semua proses yang ia jalani bersama Yanti akhirnya tetap membawanya tak berdaya jatuh. Arif sedih, semakin ia menjaga hatinya, semakin mudah hatinya jatuh cinta. Bahkan dengan Yanti, seorang guru bahasa Inggris berjilbab yang belum pernah ia temui.

Mungkin semua itu karena hati Arif begitu rindu akan sebuah cinta yang menerimanya. Cinta yang mencintainya. Cinta yang mengerti dia. Tetapi sekali lagi ia tidak pernah menyalahkan Tuhannya. Ia juga tidak ingin mengembangkan prasangka buruk bagi Yanti. Sardi telah memilih Yanti untuknya, ia percaya dengan Sardi. Semua adalah salahnya. Ketidakmampuan dirinya mengendalikan cinta itulah yang ia pikir menyebabkan semua ini terjadi. Menyebabkan ia salah mengartikan Yanti. Sepenuhnya adalah kesalahan sifat yang dimilikinya. Namun begitu, menjauhnya Yanti bukan merupakan suatu yang enteng saja bagi Arif. Bukan sesuatu yang mudah untuk dihapus hanya dengan mengalamatkan kesalahan pada dirinya sendiri.

Sejak Yanti tidak pernah membalas lagi SMS-nya, tidak pernah mengangkat lagi teleponnya, hatinya kini merasa ada yang hampa. Ia tak dapat menipu diri kalau ada sisi-sisi di ruang hatinya yang menjadi kosong. Kosong bukan karena kehilangan Yanti, tapi lebih karena jalan panjang yang harus ia lalui kembali untuk menyulut sebuah asa. Asa kepada Yanti yang susah payah ia nyalakan kini sudah padam. Kini ia harus memantik asa baru, dan ia harus melakukannya dengan berdarah-darah mengingat pertarungan melawan rasa tidak percaya diri adalah pertarungan yang dahsyat.
Arif memohon ampun kepada Tuhannya. Sebagai manusia ia tidak bisa menahan kesedihan semua ini. Ia akui memang rapuh untuk hal-hal ini, tapi tidak dalam hal-hal lain. Seperti kata Yanti, “Nobody’s perfect.” Sekali lagi Arif memohon ampun kepada Tuhannya. Ia meminta izin untuk menangis. Ia menangis dalam hati. Ia banjiri batinnya dengan air mata jiwa. Di saat air hujan telah terhenti dari langit, air mata hati Arif justru deras mengucur. Di sela-sela tangisnya, ia berjanji akan berjuang kembali meretas asa baru di jalan yang terasa tak rata ini.

Komentar

  1. Bung, ceritamu bagus.

    Psikologis, miris, tragis, hahaha.
    Pokoknya, orisinil abis deh =)

    BalasHapus
  2. Sedih memang, tapi sisi humanis didalamnya sungguh menggelitik. Tentang seseorang tidak menyalahkan takdir yang dia hadapi apalagi Tuhan.
    Love make all make sense Bung!!
    Orisinil banget dah

    BalasHapus

Posting Komentar